Kamis, 08 Desember 2011

GURU DAN TANDA JASA


Guru merupakan suatu profesi yang sudah selayaknya mendapatkan Tanda Jasa. Sudah tidak zamannya lagi kita menghibur mereka dengan lagu-lagu sendu seperti dalam lirik Hymne Guru. Sebutan ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa', mungkin sekarang hanya menjadi sebuah kalimat yang tak ada nilainya. Betapa tidak ? para pahlawan ini memang tak pernah diingat oleh siapapun dan kapanpun. Meski sejatinya ia bermakna dalam kehidupan manusia, terutama di kalangan profesi guru.

Mungkin tidak banyak dari kita yang tahu, bahwa pada tanggal 8 November 2007, Sartono, sebagai pencipta Hymne Guru, disaksikan oleh Dirjen PMPTK Depdiknas, Dr. Fasli Jalal Ph.D dan Ketua Pengurus Besar PGRI HM. Rusli, telah menandatangani surat resmi tentang penggantian lirik terakhir dari Hymne Guru tersebut. Kata-kata “Tanpa Tanda Jasa diganti menjadi Pembangun Insan Cendekia”. Sehingga Hymne tersebut diakhiri dengan Engkau Patriot Pahlawan Bangsa Pembangun Insan Cendekia.” Sebuah langkah yang mungkin dirasa lumayan bijak untuk mengakhiri “penderitaan” guru yang tak kunjung hilang (Frans IGN Bobii, 2007).

Guru seringkali menjadi korban ketidakadilan yang terjadi dalam dunia pendidikan. Predikat pahlawan tanpa tanda jasa, seolah-olah dimaknai dengan guru memang wajar jika tak mendapatkan balas jasa atas usahanya, atau minimal harus merasa cukup dengan balas jasa yang alakadarnya karma toh memang pahlawan tanpa tanda jasa. Padahal makna hakiki dari “pahlawan tanpa tanda jasa” adalah bahwa jasa guru begitu besar sehingga tidak ada satu tanda jasapun yang sebanding untuk membalas jasa yang telah diberikannya.

Guru adalah tonggak pembangun dari sebuah bangsa. Gurulah yang memiliki peran besar dalam menghasilkan generasi-generasi penerus bangsa yang berilmu dan berkualitas. Kita tentunya masih ingat saat Jepang dihancurkan oleh Sekutu dengan membombardir kota Hiroshima dan Nagasaki. Hal yang pertama kali ditanyakan oleh kaisar Jepang ketika itu adalah berapa dari guru-guru mereka yang selamat. Mengapa yang ditanyakan bukan anggota parlemen, bukan dokter, pengusaha, atau arsitek (untuk merancang kota kembali mungkin !), mengapa harus guru dan mengapa bukan yang lain.

Dan mari kita saksikan apa yang terjadi dengan Jepang saat ini jika kita bandingkan dengan bangsa kita, “Indonesia tercinta”. Jepang melejit bagai roket, sedangkan kita bangsa Indonesia terseok-seok dilanda berbagai macam krisis, mulai dari ekonomi, politik, pendidikan hingga moral. Padahal Jepang dan Indonesia bangkit dari keterpurukan pada saat yang sama. Jepang mulai bangkit kembali dari kehancurannya setelah tanggal 6 dan 9 Agustus 1945, dan Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Tapi kenapa mereka lebih maju? Jawabnya karma mereka mampu berfikir bijak tentang apa yang semestinya dilakukan. Mereka tahu bahwa majunya sebuah Negara sangat ditentukan oleh pendidikan. Kunci dari pendidikan itu adalah guru. dan pemerintah Jepang sangat menyadari hal itu. Maka lihatlah mereka sekarang. Jepang menjadi ikon untuk sebuah kemajuan. Sekarang mari lihat bagaimana keberadaan guru di Indonesia.

Apa akibat dari rendahnya gaji guru terhadap dunia pendidikan?

Dalam hidup ini ada yang namanya factor sebab akibat. Secara teori, sebelum mengajar guru haruslah mempersiapkan bahan ajar, mulai dari media mengajar sampai bahan latihan, kapan perlu guru harus bisa lebih kreatif agar proses pembelajaran menjadi lebih menarik bagi siswa. sehingga apa yang mereka ajarkan benar-benar matang dan gampang dicerna. Pastinya itu butuh waktu dan dana. Namun masalahnya adalah, banyak diantara guru-guru yang harus menggeluti pekerjaan sampingan untuk dapat menutupi biaya hidup (terutama yang sudah berkeluarga). Akibatnya, mereka tidak punya waktu lagi untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Alhasil, proses belajar-mengajar di kelas menjadi monoton dan cenderung membosankan sehingga transfer ilmu menjadi tidak optimal. Lantas dengan kondisi seperti ini, apa kita pantas menyalahkan guru? terkadang kita juga harus belajar untuk menilai dengan manusiawi.

Dalam hal ini saya bukan berarti membenarkan guru yang demikian, namun yang tidak bisa saya terima adalah ketika semua kesalahan ditimpakan kepada mereka. Bahkan ketika ada kasus pembocoran soal ujian pun, pasti guru yang disalahkan (tentang ini insya Allah akan saya bahas pada tulisan selanjutnya).

Guru seringkali disalahkan atas ketidakberhasilan seorang anak. Guru dikambing hitamkan atas buruknya moral anak. Guru, guru dan guru lagi. Semua salah guru. Karma tugas guru adalah mendidik. Karma anak disekolahkan agar menjadi baik, agar pintar dan jadi orang. Jarang orang-orang yang faham bahwa tugas mendidik itu tidak hanya tugas sekolah, tugas guru. Tapi tugas semua aspek yang terkait dengan sang anak. Terutama orang tua. Kita ambil contoh mudah, jika disekolah siswa dilarang merokok, namun ketika si anak melihat ayahnya dirumah dengan santai merokok diruang keluarga, di depan anak-anaknya, lalu dimana salah guru ketika anak tersebut akhirnya menjadi perokok juga ?

Silahkan sekarang kita semua bisa mengamati bagaimana perilaku kebanyakan anak sekolah. Tidak kenal sopan santun, bahkan –maaf- kurang ajar terhadap guru. Tidak adalagi penghormatan apalagi merasa berhutang budi. Mungkin mereka berfikir uang 100 ribu yang mereka bayarkan setiap bulan sudah setimpal dengan harga ilmu yang mereka dapatkan. Atau mereka selama ini sudah diobok-obok oleh kalimat “guru sebagai pahlawan tanpa tanda jasa” dalam Hymne Guru yang sudah dihapalkan sejak dari SD, sehingga merasa bahwa tidak perlu lagi hormat, toh mereka kan dibayar. Guru harus puas dengan prediket “tanpa tanda jasa”



Untuk itu, saya merasa sangat setuju dengan adanya penggantian lirik tersebut. Sehingga orang tidak lagi memandang status guru sebagai status yang hina, status rendahan bahkan mungkin sampai ada yang malu bercita-cita menjadi guru (karma jasanya tidak dibalas “kalau mau kaya jangan jadi guru”).

Guru adalah sosok yang mulia, tanpa guru tidak akan pernah ada kemajuan, karma tanpa guru, ilmu sebagai dasar sebuah kemajuan tidak akan pernah berpindah tempat, tanpa guru . . .kita bukan apa-apa, bahkan filsafah minang kabau mengatakan “ Alam Takambang Jadi Guru”. Karna guru adalah “Pembangun Insan Cendekia”, maka sudah saatnya guru mendapatkan tempat di hati kita, dihati setiap insan yang cinta ilmu, sudah saatnya guru mendapatkan perlakuan terhormat meski itu tak berarti meminta guru untuk menjadi orang yang gila kehormatan

Teruslah berjuang wahai guru, kembangkan sayapmu dibelantara dunia..engkau patriot pahlawan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar